Silat Cingkrik, Warisan Budaya yang Terlupakan
Tanah Betawi tak lekang dari legenda-legnda heroik yang memukau masyarakat di Indonesia. Mulai dari Fatahillah, Pangerang Jayakarta, Pangeran Wijaya Kusuma, hingga Si Pitung. Dalam rentetan cerita sejarah di tanah Betawi, legenda silat Cingkrik dari Rawabelong nampaknya tak kalah menarik untuk disimak. Sebab, bela diri asli Betawi ini hampir mengalami kepunahan, bahkan sebagian warga Jakarta tidak banyak yang tahu.
Sekitar tahun 1817, di kampung Rawabelong, muncul pendekar pilih tanding yang sangat terkenal pada zamannya. Ya, tak salah lagi dia adalah Ki Maing. Putra asli Betawi yang lahir di Rawabelong ini diakui warga sekitar memang sangat mahir dan menguasai sejumlah ilmu bela diri. Meski cukup disegani, namun Ki Maing tidak mempunyai ilmu bela diri andalan.
Suatu ketika, saat Ki Maing jalan-jalan keliling kampung, ia bertemu dengan Nyi Saereh yang memiliki seekor kera. Lantaran tingkah si kera membuat kesal, Ki Maing pun memukulnya dengan tongkat. Tapi apa yang terjadi, pukulan tongkat sang jawara itu selalu meleset, lantaran si kera lincah melompat ke sana ke mari. Bahkan, tongkat Ki Maing malah berhasil direbut si kera. Dan tak lama kemudian Nyi Saereh memintanya dan mengembalikan tongkat itu ke Ki Maing.
Setibanya di rumah, Ki Maing pun terinspirasi dengan kelincahan dan kecerdasan si kera saat menghalau pukulan-pukulan darinya. Dan Ki Maing mencoba mengkombinasikan gerakan kelincahan kera tersebut dengan sejumlah jurus yang pernah ia kuasai. Tak urung, terciptalah sebuah gerakan-gerakan dahsyat yang mampu melumpuhkan lawan dalam sekejap. Ya, itulah yang sampai saat ini dikenal dengan silat Cingkrik. "Cingkrik" itu sendiri tak lain berasal dari kata Jingkrak.
Seiring waktu berjalan, silat Cingkrik terus berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah di Jakarta. Konon, Ki Maing mewariskan silat ciptaannya itu ke sejumlah muridnya, diantaranya Ki Ajid, Ki Sa`ari, dan Ki Ali. Merekalah yang mulai mengenalkan silat Cingkrik kepada masyarakat Betawi lainnya. Meski dari guru yang sama, namun ketiga murid Ki Maing ini masing-masing juga diwarisi jurus andalan Ki Maing lainnya secara berbeda-beda, berdasarkan sifat orangnya. Tak khayal, paduan silat Cingkrik yang dikembangkan ketiga Murid Ki Maing ini pun memiliki ciri khas sendiri-sendiri.
Misalnya, Ki Ajid mengembangkan silat Cingkrik dengan gerakan-gerakan indah dan kombinasi pukulan yang lebih banyak. Ki Sa`ari mengembangkan silat Cingkrik dengan kombinasi gerakan cepat yang ditumpukan pada kekuatan kedua tangan dan incaran pukulan selalu ditujukan pada titik lemah musuh seperti ulu hati, dada, leher, dan mata. Sedangkan, Ki Ali yang terkenal kasar, mengembangkan silat Cingkrik dengan gaya yang lebih keras dan menumpukan pada seluruh kekuatan tangan, kaki, dan kelincahan. Dan kekuatan pukulan yang menjadi sumbernya.
Secara umum, kata Hasan Basri alias Cacang, salah satu penggagas Pemersatuan Seni Bela Diri Cingkrik Betawi, silat terbagi menjadi 12 jurus dasar dan tiga jurus sambut. Ke-12 jurus dasar tersebut, yakni keset bacok, keset gedor, cingkrik, langkah tiga, langkah empat, buka satu, saup, macan, tiktuk, singa, lokbe, dan longok. Sedangkan 3 jurus sambut yakni sambut tujuh muka, sambut gulung dan sambut detik. "Bagi seorang pesilat Cingkrik wajib hukumnya mempelajari jurus-jurus tersebut. Sebab, antar jurus satu dengan yang lain saling berkaitan. Kalau tidak, menguasai salah satunya maka jurus tidak akan sempurna," katanya.
Sampai saat ini kata Hasan Basri, setidaknya sudah ada beberapa perkumpulan seni bela diri silat Cingkrik di DKI Jakarta. Hanya saja jumlah pengikutnya masih ratusan. Diantaranya di Tanahabang, Kampungrambutan, dan Rawabelong sendiri. Saat ini silat Cingkrik juga mulai dikembangkan di Cirebon dan Yogyakarta. Dan, sejak 17 tahun lalu silat Cingkrik ternyata juga sudah dikembangkan di Belanda. "Ini tentu menjadi kebanggaan kita semua, meski di Jakarta sendiri tidak begitu dikenal," ujarya.
Meski terus berkembang, namun Hasan Basri mengakui sejauh ini silat Cingkrik tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan, sampai saat ini seni bela diri Cingkrik belum pernah diikutsertakan dalam pentas kejuaraan bela diri resmi. Sebab, silat Cingkrik belum terdaftar menjadi salah cabang bela diri dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). "Kami berharap tahun depan bela diri silat Cingkrik bisa dimasukan dalam IPSI," harapnya.
Pemuda-pemuda di Rawabelong, kata Hasan Basri, sampai saat ini masih rajin melakukan latihan rutin tiga kali di rumah salah satu sesepuh seni bela diri Silat Cingkrik yang masih hidup. Dia adalah Haji Nunung (61). Di halaman rumah yang terletak di Jl Harun No 21A RT 02/07, Kelurahan Sukabumiutara, itulah seni bela diri Silat Cingkrik masih ditekuni.
Menurut Haji Nunung, meski saat ini seni bela diri Cingkrik masih eksis di tanah asalnya, Rawabelong. Namun ia khawatir jika tidak mendapat pembinaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bela diri warisan nenek moyang ini bisa punah. Apalagi bisa mendulang masa keemasan seperti tahun 1800-an silam. "Saya takut kalau terus dibiarkan seperti ini seni bela diri silat Cingkrik akan punah," ujar Haji Nunung.
Sejauh ini, kata Haji Nunung, seni bela diri Cingkrik hanya dipamerkan sebagai pembuka pada acara seremonial, seperti palang pintu resepsi pernikahan atau untuk menyambut pejabat saat melakukan kunjungan. Tidak pernah mendapat pembinaan untuk disertakan dalam kejuaraan silat, baik itu even daerah, nasional, apalagi internasional. "Harusnya generasi muda khususnya putra Betawi bisa mencintai seni ini dengan mengembangkan seni bela diri ini lebih besar lagi. Tidak sebatas untuk seremonial belaka," tuturnya.
Dia juga berharap kepada Pemprov DKI Jakarta bisa membantu mengembangkan seni bela diri silat Cingkrik ini melalui sekolah-sekolah yang ada di seluruh Jakarta, misalnya dimasukkan dalam salah satu kegiatan ekstrakurikuler.
Sumber: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=33503&idwil=4